Penggunaan outsourcing dalam proyek jangka pendek semakin marak di berbagai sektor industri. Hal ini didorong oleh kebutuhan perusahaan untuk fleksibilitas, efisiensi biaya, dan akses ke tenaga ahli yang mungkin tidak tersedia secara internal. Namun, implementasi outsourcing, khususnya dalam proyek dengan durasi terbatas, perlu dicermati dari aspek hukum agar terhindar dari potensi sengketa dan pelanggaran yang dapat merugikan perusahaan.
Praktik outsourcing pada dasarnya adalah pengalihan sebagian pekerjaan kepada pihak ketiga, yang dalam hal ini adalah perusahaan penyedia jasa outsourcing. Dasar hukum utama yang mengatur outsourcing di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, beserta peraturan pelaksanaannya. Meskipun UU Cipta Kerja membawa beberapa perubahan signifikan, prinsip dasar mengenai jenis pekerjaan yang dapat di-outsourcing-kan tetap berlaku.
Table of Contents
Jenis Pekerjaan yang Dapat Di-Outsourcing-kan
Penting untuk memahami batasan jenis pekerjaan yang diperbolehkan untuk di-outsourcing-kan. Undang-Undang Ketenagakerjaan secara tegas melarang pengalihan pekerjaan inti (core business) perusahaan kepada pihak outsourcing. Pekerjaan yang dapat di-outsourcing-kan adalah pekerjaan yang bersifat penunjang atau pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi utama perusahaan.
Dalam konteks proyek jangka pendek, penentuan apakah suatu pekerjaan termasuk penunjang atau inti menjadi krusial. Misalnya, dalam proyek pengembangan software oleh sebuah perusahaan manufaktur, pekerjaan desain grafis atau pengujian software mungkin dapat dipertimbangkan sebagai pekerjaan penunjang yang dapat di-outsourcing-kan. Namun, pekerjaan yang berkaitan dengan pengembangan algoritma inti atau arsitektur software yang menjadi keunggulan kompetitif perusahaan, kemungkinan besar akan dikategorikan sebagai pekerjaan inti. Jika anda membutuhkan bantuan pengembangan perangkat lunak, anda bisa menggunakan jasa software house terbaik.
Perjanjian Kerja Outsourcing yang Sah
Perjanjian kerja outsourcing merupakan landasan hukum yang mengatur hubungan antara perusahaan pengguna jasa outsourcing (klien) dengan perusahaan penyedia jasa outsourcing. Perjanjian ini harus dibuat secara tertulis dan memuat klausul-klausul penting, termasuk:
- Identitas Para Pihak: Identitas jelas dan lengkap dari perusahaan pengguna jasa dan perusahaan penyedia jasa outsourcing.
- Ruang Lingkup Pekerjaan: Deskripsi detail mengenai jenis pekerjaan yang di-outsourcing-kan, termasuk target atau output yang diharapkan. Definisi yang jelas dan terukur akan menghindari ambiguitas dan potensi perselisihan di kemudian hari.
- Jangka Waktu Perjanjian: Durasi perjanjian outsourcing, yang harus sesuai dengan jangka waktu proyek. Perlu diperhatikan bahwa perpanjangan perjanjian harus dilakukan secara tertulis dan disepakati oleh kedua belah pihak.
- Hak dan Kewajiban Para Pihak: Rincian mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak, termasuk kewajiban perusahaan penyedia jasa untuk membayar upah pekerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku, menyediakan jaminan sosial, dan memastikan keselamatan kerja.
- Biaya Outsourcing: Mekanisme pembayaran biaya outsourcing, termasuk besaran biaya, jadwal pembayaran, dan metode pembayaran.
- Klausul Pemutusan Perjanjian: Ketentuan mengenai kondisi-kondisi yang memungkinkan pemutusan perjanjian, baik oleh perusahaan pengguna jasa maupun oleh perusahaan penyedia jasa.
- Penyelesaian Sengketa: Mekanisme penyelesaian sengketa yang disepakati oleh kedua belah pihak, misalnya melalui mediasi atau arbitrase.
Tanggung Jawab Hukum Perusahaan Pengguna Jasa
Meskipun pekerjaan telah di-outsourcing-kan, perusahaan pengguna jasa tetap memiliki tanggung jawab hukum tertentu. Perusahaan pengguna jasa harus memastikan bahwa perusahaan penyedia jasa outsourcing memenuhi kewajibannya terhadap pekerja outsourcing, termasuk pembayaran upah yang layak dan pemberian jaminan sosial.
Dalam hal terjadi pelanggaran oleh perusahaan penyedia jasa outsourcing, misalnya terkait dengan pembayaran upah di bawah standar atau tidak didaftarkannya pekerja dalam program jaminan sosial, perusahaan pengguna jasa dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum. Oleh karena itu, perusahaan pengguna jasa perlu melakukan due diligence yang cermat dalam memilih perusahaan penyedia jasa outsourcing dan memantau kinerja mereka secara berkala. Penggunaan aplikasi penggajian yang terintegrasi dapat membantu perusahaan penyedia jasa dalam mengelola upah dan jaminan sosial pekerja secara efisien dan transparan.
Risiko Hukum dalam Proyek Jangka Pendek
Outsourcing dalam proyek jangka pendek memiliki risiko hukum tersendiri. Salah satunya adalah potensi klaim dari pekerja outsourcing yang merasa hak-haknya dilanggar setelah proyek selesai. Pekerja outsourcing mungkin mengklaim bahwa mereka seharusnya diangkat menjadi karyawan tetap karena pekerjaan yang mereka lakukan bersifat inti dan berkelanjutan, meskipun proyeknya hanya bersifat sementara.
Untuk meminimalkan risiko ini, perusahaan pengguna jasa perlu memastikan bahwa perjanjian kerja outsourcing dibuat dengan cermat dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Selain itu, perusahaan pengguna jasa perlu mengkomunikasikan dengan jelas kepada pekerja outsourcing mengenai status mereka sebagai pekerja outsourcing dan durasi proyek yang bersangkutan.
Kesimpulan
Penggunaan outsourcing dalam proyek jangka pendek dapat memberikan banyak manfaat bagi perusahaan, seperti fleksibilitas, efisiensi biaya, dan akses ke tenaga ahli. Namun, implementasi outsourcing perlu dicermati dari aspek hukum agar terhindar dari potensi sengketa dan pelanggaran yang dapat merugikan perusahaan. Dengan memahami batasan jenis pekerjaan yang dapat di-outsourcing-kan, menyusun perjanjian kerja outsourcing yang sah, dan memantau kinerja perusahaan penyedia jasa outsourcing, perusahaan dapat meminimalkan risiko hukum dan memaksimalkan manfaat dari praktik outsourcing.